Sabtu, 28 November 2009

Bulu Tangkis Andalan Indonesia....Bagaimana Nasibmu Kini...????


Seperti kita lihat dari jaman dulu hingga tahun ketahun dunia perbulu tangkisan kita sering mendapatkan juara pada event2 besar utamanya kelas Internasional, bahkan kita seakan - akan menjadikan olahraga tersebut sebagai andalan bagi negara kita dalam setiap cabang perlombaan tersebut.Setelah kita lihat pada bulan September 2009 kemarin, sampai saat ini kita bersama masih belum melihat bapak Menpora yang baru Dr.Andi Alfian Mallarangeng "turlap" (turun kelapangan) memantau kinerja setiap Pengurus Besar (PB) cabang olah raga di Indonesia ini atau mengeluarkan statement apapun mengenai Program 100 Hari-nya untuk masa depan Olah Raga kita. Djarum Black

Mungkin terlalu besar dan banyak semua cabang olahraga secara bersamaan, skala prioritas adalah hal yang patut di kedepankan.

Kita tahu, sejak Indonesia berpartisipasi di bulutangkis dunia pada 1950-an, perlahan prestasi sudah mulai terbentuk, dimotori oleh Ferry Sonneville dan Tan Joe Hok Indonesia mulai menjuarai Piala Tomas tahun 1958, ibarat kata Julius Caesar Vini, Vidi, Vici, datang..lihat dan menang. Saat itu, sebagai pendatang baru Indonesia mengalahkan Malaya (sekarang Malaysia) dengan skor 6-3, padahal Malaya adalah raksasa bulutangkis pada saat itu, bersama Inggris dan Amerika Serikat.

Seterusnya, 1959 Tan Joe Hok menjuarai ajang All England, sebuah turnamen yang sangat prestisius, dimulai sejak 1899. Bahkan ada pameo mengatakan bahwa, belum sah seorang pemain dikatakan hebat jika dia belum menjuarai All England !

Sejak saat itu, Presiden Soekarno secara khusus menyambut pebulutangkis hebat (yang notabene domisilinya tidak pada satu tempat), seperti Ferry Sonneville di Belanda, Tan Joe Hok di Jakarta, Liem Po Djian dan Nyoo Kim Bie di Surabaya, sebagai pahlawan yang membuat Indonesia "menggelegar" di mata dunia.

Dengan domisili yang berjauhan tersebut, mereka semua mampu membangun sebuah tekad yang membara untuk membanggakan Indonesia.

Prestasi-demi prestasi terus diukir pebulutangkis kita, tidak hanya di bagian putra, di putri juga terpatri prestasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Tercatat pebulutangkis putri yang berprestasi dunia seperti, Minarni, Retno Kustijah, sampai ke era Verawaty, Ruth Damayanti, Imelda Wigoena, lalu ke Ivana Lie, Sarwendah dan yang fenomenal adalah Susi Susanti dan Mia Audina, walaupun yang terakhir sekarang menjadi warga negara Belanda.

Saat ini, saya tidak ingin bernostalgia soal prestasi bulutangkis kita, realita yang dihadapi sekarang adalah sangat-sangat memprihatinkan.

Sejak Haryanto Arbi menjadi pebulutangkis terakhir Indonesia menjuarai All England pada 1994, belum ada lagi yang berprestasi seperti dia. Bukan mengecilkan tunamen-turnamen yang ada dan menjamur dengan berbagai level sekarang ini, namun bila ditolok ukur dari prestasi terkini pun kita masih terseok-seok dengan minimnya gelar di turnamen super series sepanjang tahun 2009 ini.

Hanya Nova Widyanto/Lilyana Natsir yang konsisten dengan prestasinya di 2009, selebihnya sangat-sangat labil, seperti Taufik Hidayat yang semakin tak berstamina dan kerap dikalahkan oleh pemain-pemain yang satu level dibawahnya, Markis Kido/Hendra Setiawan didera cedera berkepanjangan, sementara pelapisnya seperti Moh.Ahsan/Bona Septano atau Rian Sukmawan/Yonatan S.Dasuki masih belum bisa "menempel" seniornya.

Di putri, sangat-sangat parah, sejak merebut perunggu di Olimpiade 2008 dan emas di Sea Games 2007, Maria Kristin belum bangun-bangun juga prestasinya, Adrianti Firdasari juga demikan, ada yang bagus di putri yakni Pia Zebadiah, namun yang bersangkutan lebih memilih bermain di mix double, karena menyadari bahwa prestasinya tidak akan terangkat jika berkompetisi di tunggal.

Di ganda putri kita hanya bisa menonton kehebatan pemain negara lain, karena yang ada saat ini Greysa Polii/Nitya Khrisninda dan Shandy Puspita/Meilina Jauhari belum ada di jalur nya ganda-ganda Cina dan Korea Selatan, bahkan Denmark dan Rusia.

Bisa dikatakan, mulai tahun 2000 adalah era terjelek bulutangkis kita, terlepas dari Taufik Hidayat merebut emas Olimpiade 2004 dan Markis Kido/Hendra Setiawan di Olimpiade 2008.

Analisa saya adalah pengecut-nya PBSI dalam mengirim pemain-pemain muda keberbagai turnamen, jika hanya mau seorang pemain menjadi juara, langkah yang harus dilakukan adalah siap menerima prestsi maksimalnya seperti apa. Jangan mengharapkan juara dulu, di Cina sekalipun tidak ada juara instant, yang ada juara karena mental yang sudah siap untuk bersaing dan matang.

Padahal, dipelapis banyak sekali nama yang kemampuannya cukup mumpuni, yang kalau mau "head to head" bisa mengimbangi Cina (sebagai raksasa bulutangkis dunia). Nama seperti Dionysius Hayom Rumbaka, Evert Sukamta, Andreas Adityawarman punya skill yang sangat baik, di putri ada Ana Rovita, Maria Febe, Febi Angguni dan banyak lagi, di ganda putra ada yang sangat menonjol yakni ; Rendy Sugiarto/Wifqi.

Pebulutangkis diatas, hampir semuanya berusia 20 tahun ke bawah dan kemampuannya cukup baik.

Bagaimana nasib bulutangkis Indonesia ? Tak satupun supremasi bulutangkis ada di negara kita, Thomas, Uber, Sudirman, semua ada di negara orang. Apa suatu saat kita nantinya akan menjadi underdog di bulutangkis ?

Lihat, di Asia, Malaysia, Korea Selatan, Cina Taipeh, Thailand sudah berani mengirimkan tenaga-tenaga mudanya ke berbagai turnamen sekelas super series, belum lagi Eropa, dimana Denmark menjadi motornya, sebuah negara bulutangkis yang tidak pernah kehabisan pemain hebat, bahkan ada negara-negara yang hampir tidak punya tradisi bulutangkis, sekarang sudah punya pemain hebat, seperti Rusia, Polandia dan Jerman-kini sudah punya beberapa pemain muda yang cukup kuat. Saat ini pun, Nigeria adalah sebuah negara bulutangkis yang kuat di Afrika, sudah menjadi penggerak bulutangkis di sana !

Sekarang ini, pujian patut kita berikan kepada klub-klub yang melihat potensi pemainnya yang hebat namun sistem Pelatnas PBSI tidak meliriknya. Mereka dengan inisiatif dan biaya sendiri mengirim "mutiara-mutiara" mereka untuk menjadi atlet kelas dunia. Menjadi atlet professional (yang sekarang sudah menjadi trend di bulutangkis). Dengan biaya "sendiri", tanpa biaya dari negara.

Apakah kita tidak malu, jika akhirnya bulutangkis Indonesia seperti yang terjadi di dunia tennis sekarang ini, dimana individunya berprestasi hebat, namun begitu ada turnamen yang membawa nama negara seperti Piala Davis dan Piala Fed, si pemain dengan tega dan tegas menolak untuk membela negara.

mungkin ini perlu adanya pembenahan sistem dan meningkatkan kesejahteraan bagi para pemain / atlet serta pelatih agar mereka merasa diperhatikan oleh pemerintah

ya..mungkin ada reword dan perlakuan yang baik sesuai dengan prestasi yang dapat mengharumkan bangsa indnesia kita ini......................salam Black Community


Tidak ada komentar:

Posting Komentar