
Semenjak Awal tahun 2007 lalu, pemerintah RI meluncurkan kebijakan konversi minyak tanah ke gas. Semula saya berpikir bahwa program ini sangat bagus, untuk jangka panjangnya, karena bisa mengurangi penggunaan minyak tanah sebagai bahan bakar kompor. Meski banyak yang protes, tapi pemerintah jalan terus. Memang sih, orang Indonesia kalo disuruh berubah, protesnya dateng duluan. Dan ini memang bukan kebijakan yang populer. karena masih ada beberapa lapisan masyarakat yang memang belum sanggup memenuhinya. Sebetulnya saya ga mau mengomentari program ini sih. Karena pada prinsipnya saya sih setuju saja, secara kasap mata..Black Community saya dari awal juga tidak suka masak pake minyak tanah. Karena selain panas, juga kotor deh kayaknya, hehehe...
Yang mau saya komentari berangkat dari keheranan saya dalam implementasi rencana ini. Semula saya berpikir, kalau untuk konversi ini, dilakukan survey yang memang mendata siapa siapa saja yang membutuhkan perangkat ini. Karena perangkat ini juga bukan perangkat murah. Seharusnya pemerintah lebih berhati hati dalam realisasi droppingnya. Saya heran, ketika beberapa hari yang lalu saya melihat tetangga - tetangga diminta menyerahkan fotokopi kartu keluarga dan fotokopi ktp, untuk keperluan administrasi pengambilan kompor gas beserta tabung gas seukuran 3 kg. Banyak sebetulnya yang menolak, karena mungkin merasa tidak membutuhkan. Secara mungkin mereka sudah lama menggunakan kompor gas milik saya sendiri, dan memang mungkin akan lebih bermanfaat kalau diambil oleh keluarga lain yang membutuhkan. Tapi karena ini adalah peraturan pemerintah. Ya sudah kita semua berikan syarat2 tersebut.Akhirnya, kami dapat juga kompor itu, dan seperti yang sudah di kira, kompornya ga kepake. Lha buat apa coba?
Betapa tidak akuratnya data di republik ini, sehingga untuk memberikan fasilitas yang layak saja selalu dipertanyakan. Kenapa sih begitu sulit mendata rakyat? Bila dikalikan di RT saya saja, yang tidak layak mendapatkan bantuan konversi minyak tanah ke gas bisa lebih dari 5 orang. Memang sebagian besar penduduk di RT saya bukanlah orang mampu. Tapi kan tetep aja, dideretan rumah saya, bisa dikatakan sudah menggunakan kompor gas dari dulu. kenapa lagi harus dikasi kompor gas yang jatahnya bantuan? Terus terang saya sih merasa tidak berkenan menerima aja, lha kalo di RT saya aja ada sekitar 5-6 orang yang mendapat kasus begini, dalam satu RW bisa 4-5 kali lipatnya. berapa keluarga dalam satu kelurahan yang tidak layak mendapat, tapi tetep mendapatkan bantuan? Memang kondisi ini membuat miris. Pantesan aja, waktu ada bantuan tunai langsung, banyak yang salah sasaran. Kenapa ga ada budaya malu menerima bantuan yah, padahal kita kan tidak layak menerima bantuan itu? Yang begini ini nih yang membuat anggaran belanja negara membengkak ga keruan.
Yang mau saya komentari berangkat dari keheranan saya dalam implementasi rencana ini. Semula saya berpikir, kalau untuk konversi ini, dilakukan survey yang memang mendata siapa siapa saja yang membutuhkan perangkat ini. Karena perangkat ini juga bukan perangkat murah. Seharusnya pemerintah lebih berhati hati dalam realisasi droppingnya. Saya heran, ketika beberapa hari yang lalu saya melihat tetangga - tetangga diminta menyerahkan fotokopi kartu keluarga dan fotokopi ktp, untuk keperluan administrasi pengambilan kompor gas beserta tabung gas seukuran 3 kg. Banyak sebetulnya yang menolak, karena mungkin merasa tidak membutuhkan. Secara mungkin mereka sudah lama menggunakan kompor gas milik saya sendiri, dan memang mungkin akan lebih bermanfaat kalau diambil oleh keluarga lain yang membutuhkan. Tapi karena ini adalah peraturan pemerintah. Ya sudah kita semua berikan syarat2 tersebut.Akhirnya, kami dapat juga kompor itu, dan seperti yang sudah di kira, kompornya ga kepake. Lha buat apa coba?
Betapa tidak akuratnya data di republik ini, sehingga untuk memberikan fasilitas yang layak saja selalu dipertanyakan. Kenapa sih begitu sulit mendata rakyat? Bila dikalikan di RT saya saja, yang tidak layak mendapatkan bantuan konversi minyak tanah ke gas bisa lebih dari 5 orang. Memang sebagian besar penduduk di RT saya bukanlah orang mampu. Tapi kan tetep aja, dideretan rumah saya, bisa dikatakan sudah menggunakan kompor gas dari dulu. kenapa lagi harus dikasi kompor gas yang jatahnya bantuan? Terus terang saya sih merasa tidak berkenan menerima aja, lha kalo di RT saya aja ada sekitar 5-6 orang yang mendapat kasus begini, dalam satu RW bisa 4-5 kali lipatnya. berapa keluarga dalam satu kelurahan yang tidak layak mendapat, tapi tetep mendapatkan bantuan? Memang kondisi ini membuat miris. Pantesan aja, waktu ada bantuan tunai langsung, banyak yang salah sasaran. Kenapa ga ada budaya malu menerima bantuan yah, padahal kita kan tidak layak menerima bantuan itu? Yang begini ini nih yang membuat anggaran belanja negara membengkak ga keruan.
Semoga pemerintah yang berwenang untuk lebih bijaksana dalam mengatasi masalah ini...dan meninjau ulang serta mengawasi pro kontra ini......pokoknya satu negaraku Indonesia dan banyak kawanku dari...Djarum Black
Tidak ada komentar:
Posting Komentar